Rabu, 22 Oktober 2014

It’s The Climb

It’s The Climb
There’s always gonna be another mountain.
I’m always gonna wanna make it move.
Always gonna be an uphill battle
Sometimes you’re gonna have to lose.
Ain’t about how fast I get there.
Ain’t about what’s waitin on the other side.
It’s the climb

Lagu ini terus ku putar. Ku besarkan volume suaranya agar tidak kalah dengan suara angin kencang pagi ini. Derasnya hujan diluar rumah dan hembusan angin yang masuk disetiap celah kamar sedikit pun tidak mampu mengalihkan pendengaranku. Aku terus fokus ke arah handphone Nokia merah yang sedang berlagu. Setidaknya selain bisa menikmati irama musiknya, aku juga bisa menangkap kata dan gaya pronounciation-nya si Miley. Meski sedikit.

Aku terlena. Penggalan lirik lagu Miley Cyrus ini sungguh membakar semangat. Lagu ini terus ku putar sampai beberapa kalimat terhafal diluar kepala. Ah, ternyata tidak mudah ya mengumpulkan energi positif. Butuh waktu. Butuh katalisator agar energi positif itu bisa masuk ke dalam sel-sel darah dan menyelinap masuk ke saraf otak. Pagi ini kupakai cara mendengarkan musik barat. Yeah, It really works!

Benar kata Miley Cyrus di dalam lirik lagunya, It’s The Climb. Bahwa hidup ini seperti pendakian, suatu proses perjalanan menuju puncak. Tentu saja puncak ini hanya terlihat bagi mereka yang punya visi dalam hidup. Kalau kita tidak menjalani proses hidup ini, ya kita akan berjalan di tempat itu-itu saja. Aku merenung, dalam suatu pencapaian, terkadang aku cepat sekali putus asa dan berhenti ditengah jalan.

Hembusan angin menyambar wajahku…

Aku beralih fokus ke arah layar laptop. Ku buka folder-folder masa lalu yang berisi foto-foto masa SMA dan kuliah. Banyak sekali foto yang tersimpan di laptopku. Dulu aku terbiasa mengabadikan setiap event di kampus lewat foto. Jadi tak heran kalau semua foto dari semester 1 sampai 7 terpisah di masing-masing folder. Alhamdulillah, semua masih tersusun rapi. Mulai dari foto berkebun, foto saat eksplorasi di lab, bahkan sampai foto-foto selfie narsis bersama teman-teman kampus. Aku hanya mampu mengulum senyum saat melihat foto-foto itu. Sungguh, tak ada yang lebih indah selain senyum ceria orang-orang terdekat.

Lembaran Berdebu

Beberapa hari ini cuaca di Banda Aceh begitu labil. Angin kencang menyambar jendela kamarku yang tak bertirai. Aku masih disini, di kamar sederhana berukuran persegi sama sisi. Sejurus mataku kearah tumpukan kertas di bawah meja belajar. Karena terlihat tidak enak dipandang, aku pun merapikannya.

Permukaan tumpukan itu berdebu. Aku bersihkan satu persatu. Ternyata ada banyak buku paduan dan brosur belajar ke luar negeri di tumpukan itu. Huf. Huuf. Wah iya, ini memang kumpulan informasi beasiswa yang dulu aku kumpulkan!, aku berseru sendiri di dalam hati. Ada brosur Fulbright, AAS (Australia Awards Scholarship), Monbukagakusho dari JASSO (Japan Student Services Organization), ESIT (Elit Study In Taiwan), LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan), dan beberapa brosur universitas di Australia. Jangan tanya darimana brosur ini didapat. Yang aku ingat, ini semua aku dapatkan dari seminar pendidikan luar negeri dan dari perpustakaan mini tempat kursus TOEFL-ku. 

Brosur yang sempat berdebu
Aku terbiasa memisah buku-buku penting, buku yang sering di baca, novel bahkan tumpukan skripsi di kamarku. Jadi aku paham betul tumpukan informasi beasiswa itu memang sengaja aku pisahkan di bawah meja belajar. Karena meja belajarnya tidak ada kursi, jadi aku anggap meletakkannya di bawah meja lebih aman dan mudah di cari. Tapi seakan dimakan waktu, justru tumpukan kertas itu berdebu, tersembunyi, dan hampir lenyap di pelupuk mata. Lembar demi lembar kubuka perlahan. Membaca setiap persyaratan dan daftar jurusan yang sesuai dengan bidangku. Tapi rasanya kok beda ya? Rasanya seperti tidak ada yang tidak mungkin. Ah, ngayal! aku kan bertoga saja belum. Agak gamang jika harus membayangkan impian ke luar negeri lagi.

Have Faith!

Tiba-tiba aku jadi teringat kegiatan kemarin. Saat aku dan teman-teman yang lain berkumpul dan berbagi cerita bersama kak Fairuz, kakak inspirasiku. Karena dulu kami hanya berkomunikasi via message facebook, aku ingin sekali bisa berjumpa dan mengenal lebih banyak tentangnya. Tapi takdir siapa yang tahu. Akhirnya takdir mempertemukan kami di Gerakan Turun Tangan. Dari beliau lah aku pernah tertarik mengikuti YLI (Young Leader for Indonesia) dan sempat melirik PPAN (Pertukaran Pemuda Antar Negara).

Sore lalu, beliau bercerita bagaimana perjuangannya mendapatkan Beasiswa Aceh untuk melanjutkan sekolah di Massachusetts, US. Ternyata penuh liku dan pengorbanan. Banyak juga universitas yang menolaknya. Singkat cerita, karena ayah beliau -yang juga dosen dikampusku- dan orang-orang terdekat (termasuk pacarnya) selalu mendukung, akhirnya ia berhasil mendapatkan kesempatan ke Negeri Paman Sam beberapa bulan lagi.

Aku bersama Kak Fairuz
 Dalam penyampaiannya, kak Fairuz menekankan bahwa yang mengetahui arti kesuksesan sesungguhnya adalah kita sendiri, bukan orang lain. Bisa jadi kesuksesan orang lain bukanlah arti kesuksesan untuk diri kita.

Ah, pikiranku jadi melambung ke salah satu tokoh di Novel Rantau 1 Menara, Alif. Tentang kegigihannya menjalani hidup di jalannya sendiri. Karena usaha, kesabaran, akhirnya ia bisa mencapai cita-citanya, ke Amerika dan mendapatkan istri idaman. Ini juga persis seperi lagu Miley Cyrus tadi, “The struggles I’m facing. The chances I’m taking. Sometimes might knock me down but I’m not breaking. I may not know it but these are the moments that I’m gonna remember most. I just gotta keep going and I just gotta be strong. Just keep pushing on”. Kena banget!

Semua perjalanan itu punya tujuan, punya puncak, punya muara. Tapi masalahnya bisakah kita tetap keep faith? Aku kembali mengingat orang-orang terdekatku yang sudah dan akan berangkat ke luar negeri. Kalau ditanya tentang perjuangan, tentu mereka berjuang. Mereka juga pasti banyak berusaha, banyak bersabar dan fokus pada tujuan. Mereka berusaha menjadi Outstanding Person, going the extra miles!, kata Alif.

Melihat orang terdekat kita bisa menggapai apa yang dicita-citakannya, apa aku tidak punya kesempatan? Mungkin selama ini aku masuk ke dalam unlimited room sehingga tidak berlapang dada. Mungkin juga aku hanya panas sehari-dua hari kemudian dingin lagi selama sebulan. Wajar dong kalau jalanku selama ini tersendat dan tidak jelas?

Tapi benar jurus hidup “Man Saara ala darbi Washala“. Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai ke tujuan. Aku harus kukuh dan harus tahu kemana tujuan akhir. Dan aku tidak sendiri. Ada Tuhan yang menjadi tempatku bertumpu. Ini bukan seberapa cepat aku sampai pada puncak atau muara, bukan seberapa besar yang ada di ujung jalan. Tapi seberapa besar rintangan yang mampu aku lalui dan seberapa jauh aku berjalan. It’s the climb. I just gotta keep going.

Coretan pagi ini
Dan aku harusnya menyadari bahwa going abroad bukanlah satu-satunya cara untuk belajar. Aku bisa belajar oleh siapa saja, dimana saja dan kapan saja. 

Ah, sepertinya aku terlalu lama termenung di kamar ini. Hembusan angin semakin kencang, dan jendela kamar harus segera ditutup sebelum semua kertas di kamarku ini terbang seperti daun kering jatuh berserakan.  Semoga purnama malam nanti menjadi saksi bahwa mulai hari ini aku berikrar untuk selalu menjagai impian di dalam hati terdalam.

0 komentar:

Posting Komentar